Join The Community

Premium WordPress Themes Premium WordPress Themes Premium WordPress Themes Premium WordPress Themes

Kamis, 07 Juli 2011

Abu Nawas, Legenda Sastrawan-Penyair Jenaka



Ilahi lastu lil firdausi ahla
Wala aqwa ‘alan naril jahimi
Fahabli taubatan wagfir dzunubi
Fainnaka ghafiru dzambil ‘adhimi

Wahai Tuhanku aku bukanlah ahli surga firdaus
Namun aku takkan kuat menahan panasnya api neraka
Maka terimalah tobatku dan limpahkanlah ampunan atas dosaku
Karena sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dosa-dosa besar

LIRIK syair di atas sangatlah populer, utamanya di kalangan penyanyi dan penikmat lagu-lagu nasyid. I’tiraf atau pengakuan adalah judul yang diberikan kepada syair di atas. Mayoritas tim nasyid melantunkan dan menggubah lirik itu sedemikian rupa dalam album rekamannya, seperti Raihan, Mupla, dan banyak lagi.

Itulah syair yang dikenal sebagai warisan penyair superpopuler Irak, Abu Nawas. Meskipun ada juga pendapat, bahwa syair itu bukanlah gubahan Abu Nawas, tapi karya seorang sahabat Rasulullah Saw, Abdullah bin Rawahah.

Menurut sebuah riwayat, Abdullah bin Rawahah saat ingin menjumpai sahabatnya, Abdurrahman bin Auf. Setiba di rumah Abdurrahman, istri Abdurrahman membuka pintu dan betisnya terlihat karena hembusan angin yang mengingkap busananya.

Kejadian itu membuat Abdullah bin Rawahan jatuh pingsan karena merasa kaget dan berdosa. Setelah sadar, ia mengasingkan diri di sebuah perbukitan. Selama tiga hari, ia baru ditemukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya, ketika terdengan syair Al-I’tiraf dari Abdullah bin Rawahah. Sumber lain menyebutkan, syair itu adalah karya Syekh Al-Sya’roni.

Terlepas dari mana yang benar, yang jelas Abu Nawas (sering pula disebut Abu Nuwas) adalah legenda, bernama asli Abu Hani Muhammad bin Hakam. Sastrawan dan penyair humoris ini diyakini hidup masa pemerintahan Khilafah Abbasiyah (786-890 M), era pemerintahan Sultan Harun Al-Rasyid Al-Abassi, dan meninggal di Bagdhad tahun 810 M. Ia dilahirkan di kota Al-Ahwaz, Persia, dan dibesarkan di Kota Basrah, Irak.

Nama Abu Nawas berarti “Bapak Si Rambut Ikat”, merujuk pada dua ikatan rambut panjangnya yang sampai sebahu. Semasa kecil, Abu Nawas “dijual” oleh ibunya kepada seorang penjaga toko dari Yaman, Sa’ad al-Yashira.

Semasa remaja, ia bekerja di sebuah toko di Basrah, Irak. Saat itulah, ketampanan dan kecerdasannya menarik perhatian seorang penyair berambut pirang, Waliban Ibnu Al-Hubab. Abu Nawas muda pun dibeli dan dimerdekakannya. Al-Hubab mengajari Abu Nawas ilmu ketuhanan (teologi), bahasa Arab, dan puisi. Abu Nawas lalu belajar juga kepada Khalaf Al-Ahmar.

Popularitas Abu Nawas menanjak karena kejenakaan syair-syair yang diciptakannya, sebuah gaya puisi yang bertentangan dengan tradisi syair di gurun pasir saat itu, ditambah dengan perilakunya yang suka mabuk (minum khamr) dan sejumlah syairnya yang mengeritik Al-Quran yang mengharamkan khamr.

Demikianlah, sebelum mendapatkan hidayah dan bertobat, Abu Nawas dikenal sebagai penyair kontroversial. Bahkan buku-buku sejarah menyebut Abu Nawas sebagai sastrawan cabul dan kotor.

Dalam keadaan mabuk karena meminum khamr, sambil ‘mengigau’ atau berbucara tak karuan, ia sering menggubah puisi yang membangga-banggakan minuman keras (puisi khumrayat). Ia sering keluar masuk penjara karena puisi-puisinya itu.

Karena karya-karya dan perilakunya yang tidak bermoral, sebagian ulama saat itu berpendapat, Abu Nawas adalah fasik (pelaku maksiat) bahkan kafir. Simak saja sebuah bait syairnya:

“Aku menyukai apa-apa yang Al-Quran larang
Dan aku menjauhkan diri dari apa-apa yang dibolehkannya”

Tidak hanya itu, Abu Nawas juga disebut-sebut sebagai gay, homoseksual, hal yang terasa asing di telinga kita. Tapi sebuah bait syarinya mengatakan demikian, misalnya: “Demi seorang pria muda, aku rela tinggalkan wanita”.

Namun demikian, Abu Nawas pernah kawin dengan salahsatu wanita yang masih familinya, tapi keesokan harinya perempuan itu diceraikannya karena ia tidak mencintainya. Abu Nawas juga diceritakan pernah mencintai seorang perempuan, bernama Jinan. Sayang, cintanya tak sampai.

TIDAK MAU JADI LALAT
Kehidupan Abu Nawas berubah total menjadi Islami, menurut suatu riwayat, setelah suatu malam, pada bulan Ramadhan (diyakini sebagai Malam Qodar), dalam keadaan “teler” ia didatangi seseorang tak dikenal. Orang itu berkata: “Ya Abu Hani! Idza lam takun milhan tuslih, fala takun zubabatan tufsid”. Artinya, “Hai Abu Hani, jika engkau tak mampu menjadi garam yang melezatkan hidangan, janganlah engkau menjadi lalat yang menjijikan merusak hidangan itu”.

Kata-kata itu sangat berkesan pada diri Abu Nawas. Ia menyadari kesalahannya selama ini, merasa dirinya bukan garam, tapi lalat. Ia pun bertobat dan meninggalkan perilaku tidak Islaminya. Ia menjadi seorang ahli ibadah, rendah hati, rajin i’tikaf di masjid, dan jarang berbicara.

Meski demikian, ia tetap menggubah syair. Namun, syair-syairnya berganti warna, menjadi syair-syair dzikir dan senandung doa. Salah satu karyanya yang paling terkenal hingga kini, dijadikan senandung di pesantren-pesantren dan nasyid, adalah syair Al-I’tiraf di atas.

Menurut sebuah riwayat, suatu ketika, beberapa kawan Abu Nawas satu “geng” dulu, mendatanginya saat sedang i’tikaf di sebuah masjid.

“Apa yang keluar dari bibirmu sekarang?” ejek kawan-kawannya.
“Ayat-ayat Al-Quran,” jawab Abu Nawas, kalem.
“Yang kau pikirkan di kepalamu?”
“Kemahaagungan Allah yang sudah mengubah manusia buruk seperti kalian menjadi manusia yang baik seperti aku sekarang.”
“Kau habiskan malam-malammu dengan apa?”
“Dengan mendekatkan diriku yang hina dina ini kepada Dzat Yang Mahamulia, yaitu Allah SWT.”

“Lalu siang-siangmu keluyuran ke mana?”
“Ke gurun dan samudera petunjuk-Nya yang penuh rahmat dan ampunan. Aku tak akan tersesat di situ, karena firman-firman-Nya amat jelas,” kata Abu Nawas.

SASTRAWAN JENAKA
Abu Nawas dikenal luas bukan saja di dunia Islam, tapi juga dunia Barat. Kisah-kisah jenakanya sangat digemari berbagai kalangan. Hebatnya, kisah lucu Abu Nawas seakan tak pernah habis.

Selalu ada cerita lucu yang baru hingga akhirnya ia dikenal dengan seorang humoris yang sangat cerdas. Bahkan disebutkan, Khalifah Harun Al-Rasyid yang dikenal sebagai khalifah Bani Abasiyah paling pintar, tak pernah berhasil mengalahkannya.

Syair I’tiraf sendiri mengandung kejenakaan, tapi bukan senda-gurau. Simak saja liriknya: “Aku bukanlah ahli surga firdaus, tapi bukan pula orang yang kuat menahan panas api neraka”. Kalau diartikan secara harfiah, doa itu memang agak lucu: masuk surga tak pantas, masuk neraka tidak kuat.

Meski jenaka, dalam literatur Islam, Abu Nawas lebih dikenal sebagai tokoh sastra dari pada seorang ‘pelawak’. Lebih dari itu, sebuah sumber juga menyebutkan, ternyata petualangan Abu Nawas bukan dengan Harun Al-Rasyid, melainkan dengan khalifah setelahnya, Muhammad Al-Amin, putra Harun. Bahkan ada yang mengatakan, Abu Nawas tidak pernah bertatap muka dengan Harun Al-Rasyid.

Terlepas dari mana yang benar, yang jelas Abu Nawas dikenal sebagai sastrawan dan penyair terhebat pada masanya. Bahkan sejarahwan Ibnu Arabi mengatakan, “Telah aku bandingkan syair Abu Nawas dengan yang lain, ternyata tidak aku temukan syair seindah miliknya”.

Tidak banyak karya Abu Nawas yang bisa ditemukan. Pasalnya, lembaran-lembaran syairnya dibakar habis setelah ia bertobat.

“Aku takut setalah aku mati nanti, masih tersisa satu dari syairku. Oleh karena itu aku membakarnya” kata Abu Nawas ketika ditanya oleh salah seorang temannya. Apalagi Abu Nawas sendiri tidak pernah mengumpulkan syair-syairnya. Wallahu a’lam. (ASM. Romli, dari berbagai sumber).*

Nikah Tidak Direstui

Nikah Tidak Direstui

Tanya : Ass.wr.wb....pak saya ingin tanya nikah tdk d restui oleh bpk qta, krn calon suaminya krg mapan bgaimana tanggapan dlm islam. Ira. wassalam

Jawab : Wa’alaikum salam wr.wb. Pada dasarnya ada dua alasan mengapa orang tua tidak merestui pernikahan anaknya. Pertama, alasan yang sifatnya syar’i. tentu saja alasan ini dibenarkan dalam agama Islam, misalnya orang tua tidak bersedia menikahkan anaknya disebabkan anaknya sudah ada yang melamar duluan tanpa ada pembatalan, atau berbeda aqidah (baca agama). Maka hal ini wajib untuk dituruti, bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa kewaliannya tidak bisa berpindah ke wali lain (wali hakim). (lihat Risalah Nikah, 1989 h.90-91).

Maka jika perempuan tetap memaksakan diri untuk menikah dalam kondisi, seperti ini, maka akad nikahnya tidak sah alias batil, meskipun dia dinikahkan oleh wali hakim. Sebab hak kewaliannya sesungguhnya tetap berada di tangan wali perempuan tersebut, tidak berpindah kepada wali hakim. Jadi perempuan itu sama saja dengan menikah tanpa wali, maka nikahnya batil. Sabda Rasulullah SAW,”Tidak [sah] nikah kecuali dengan wali.” (Ahmad; Subulus Salam)

Kedua, alasan yang tidak syar’i, yaitu alasan yang tidak dibenarkan hukum syara’. Misalnya berbeda suku, orang miskin, bukan sarjana, atau wajah tidak rupawan, dan sebagainya. Ini adalah alasan-alasan yang tidak ada dasarnya dalam pandangan syariah, maka tidak dianggap alasan syar’i. Jika wali tidak mau menikahkan anak gadisnya dengan alasan yang tidak syar’i seperti ini, maka wali tersebut disebut wali ‘adhol. Makna ‘adhol, kata Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, adalah menghalangi seorang perempuan untuk menikahkannya jika perempuan itu telah menuntut nikah. Perbuatan ini adalah haram dan pelakunya (wali) adalah orang fasik (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam, hal. 116).



“Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya[146], apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian di antara kamu. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS Al-Baqarah : 232)

Jika wali tidak mau menikahkan dalam kondisi seperti ini, maka hak kewaliannya berpindah kepada wali hakim (Imam Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, II/37; Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, IV/33). Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW,”…jika mereka [wali] berselisih/bertengkar [tidak mau menikahkan], maka penguasa (as-sulthan) adalah wali bagi orang [perempuan] yang tidak punya wali.” (Arab : …fa in isytajaruu fa as-sulthaanu waliyyu man laa waliyya lahaa) (HR. Al-Arba’ah, kecuali An-Nasa`i. Hadits ini dinilai shahih oleh Ibnu ‘Awanah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim, Subulus Salam, III/118).

Yang dimaksud dengan wali hakim, adalah wali dari penguasa, yang dalam hadits di atas disebut dengan as-sulthan. Imam Ash-Shan’ani dalam kitabnya Subulus Salam II/118 menjelaskan, bahwa pengertian as-sulthan dalam hadits tersebut, adalah orang yang memegang kekuasaan (penguasa), baik ia zalim atau adil (Arab : man ilayhi al-amru, jaa`iran kaana aw ‘aadilan). Jadi, pengertian as-sulthaan di sini dipahami dalam pengertiannya secara umum, yaitu wali dari setiap penguasa, baik penguasa itu zalim atau adil. (Bukan hanya dari penguasa yang adil). Maka dari itu, penguasa saat ini walaupun zalim, karena tidak menjalankan hukum-hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, adalah sah menjadi wali hakim, selama tetap menjalankan hukum-hukum syara’ dalam urusan pernikahan.Allahu a’lam.

Tetap update tulisan dari Abu Alifa Shihab di manapun dengan http://m.Abatasa.com dari browser ponsel anda!

Jumat, 01 Juli 2011

Reaksi Gambar

http://mashable.com/2007/09/13/one-column-website-templates/Floor, San Francisco, California, 94105, USA.

Penyair Mencari Tuhan dan Cinta


apakabar temen2 penyiar dan penyair.............alhamdulillah saya bisa ngupdate status di blog ini.........anda juga bisa kunjungi blog saya lainnya di http://ferryarbania.blogspot.com

Selasa, 08 Juni 2010

How do I promote my FeedBurner feed on my Blogger site?

Episode Jingga

...biarkan cinta mengembara
biarkan laut berwarna api
aku tetap duduk disini
menemani secangkir kopi
sambil mengakrabi bait-bait manja
yang bersederet di rekah bibirmu.....
(Surabaya,Sabtu Malam disebuah Notebook Kecil Berwarna Merah Jambu)

Kamis, 01 April 2010

Nol Sampah, bukan Sembarang Nol


Potret bersih ala Nol Sampah Surabaya.

Wina Imut

Wina Imut
Facebook adalah komunitas untuk mencari teman yang sudah lama gak ketemu ataupun ingin menambah teman dari dunia maya yang memang memiliki nilai positif karena di sini biasanya kita akan update foto, jadi langsung kelihatan siapa yang ingin jadi teman kita. Tapi bagaimana jika foto yang di update itu foto polos a.k.a bugil? apakah kedepannya nanti Facebook akan di jadikan ajang jual diri oleh sebagian pihak yang tidak bertanggung jawab?